Description
|
Wilayah pulau kecil merupakan kawasan yang selama ini pemilikan dan pengelolaannya umumnya dikuasai oleh negara. Masyarakat yang memanfaatkan wilayah itu, hanya mempunyai hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya tanpa disertai hak untuk mengelola. Kondisi ini, mengakibatkan masyarakat hanya berfikir untuk pemanfaatan, tanpa memperhatikan aspek kelestarian. Jika terjadi pelanggaran yang mengancam kelestarian, masyarakat sulit untuk berpartisipasi dalam pengelolaan. Untuk mengelola pulau-pulau kecil di perbatasan, Pemerintah mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, yang di dalamnya antara lain diatur mengenai pemanfaatan dengan sistem HP3. Walaupun dalam Pasal 17 UU No. 27 Tahun 2007, HP3 dapat diberikan kepada masyarakat, namun penyerahan hak pengusahaan kepada perorangan, badan, dan badan hukum dapat menimbulkan masalah. Hal itu terkait dengan kepentingan masyarakat yang tidak mendapatkan perhatian dari pengelola sehingga kehidupan mereka yang sudah miskin akan menjadi semakin miskin. Penelitian bertujuan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan pulau kecil di perbatasan, dan membuat model penerapan HP3 di pulau-pulau kecil yang dilaksanakan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama (tahun 2009), melakukan identifikasi praktik pengelolaan pulau kecil di lokasi penelitian, dan identifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan. Pada tahap kedua (tahun 2010), melihat persepsi dan sikap masyarakat terhadap kebijakan kelautan yang dilakukan oleh pemerintah, serta aspirasi mereka terhadap kebijakan pengelolaan di masa yang akan datang. Adapun pada tahap ketiga (tahun 2011), menyusun naskah rekomendasi pengelolaan perairan Sebatik dan naskah rekomendasi penerapan HP3 secara nasional. Penelitian dilakukan di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang diambil, yaitu data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan SPSS 12 dengan cara frekuensi dan tabulasi silang. Data kualitatif diperoleh dengan wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Penelitian ini juga menggunakan data sekunder, yaitu berupa artikel di koran dan majalah, data statistik, peraturan perundang-undangan, dan hasil-hasil penelitian yang sudah ada. Analisis data kualitatif dilakukan dengan menggunakan analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat Sebatik terhadap hasil laut sangat tinggi. Dari jumlah penduduk sebanyak 31.311 jiwa, 5.163 KK, sekitar 25% kehidupannya sangat tergantung pada hasil laut. Jika dibandingkan dengan seluruh keluarga di Kabupaten Nunukan yang bermatapencaharian sebagai nelayan (1.882) keluarga, jumlah tersebut tergolong besar karena mencapai 64,3%. Walaupun ketergantungan masyarakat Sebatik terhadap laut cukup tinggi, namun saat ini mereka dihadapkan pada beberapa permasalahan lingkungan laut, berupa penurunan daya dukung lingkungan laut. Hal ini terjadi karena pemanfaatan surnberdaya laut yang tidak terkendali dan penggunaan peralatan tangkap yang bersifat merusak, seperti pukat hela (trawl). Selain Pemerintah, stakehoder yang mengelola kelautan di sekitar Pulau Sebatik adalah masyarakat. Pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat adalah berupa pemanfaatan laut untuk melakukan penangkapan ikan. Alat tangkap ikan yang digunakan oleh masyarakat, yaitu bagan, dogol, pancing, pukat, kelong, bubu, tungku tiga mata, dan ambao. Banyaknya lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan pesisir dan laut, serta besarnya kepentingan masyarakat terhadap kawasan perairan Iaut maka pengelolaan kawasan perairan di Pulau Sebatik, termasuk jika dilakukan penerapan HP3, harus memperhatikan berbagai kepentingan yang berbeda, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan lembaga-Iembaga terkait. Jika hal itu tidak dilakukan maka pengelolaan yang dilakukan bisa memicu timbulnya konflik yang justru kontra produktif terhadap efektivitas pengelolaanya. Sampai saat ini masyarakat pada urnumnya, belum mengetahui istilah HP3. Hal ini disebabkan karena pengaturan tentang HP3 merupan hal baru, dan sampai saat ini belum diterapkan, karena belum ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaannya. Terkait dengan penjelasan dalam HP3 itu pengelolaan kawasan pesisir dapat diserahkan kepada pengusaha badan hukum, masyarakat cenderung memiliki pandangan bahwa hal itu merugikan nelayan. Masyarakat khawatir jika pengelolaan diserahkan kepada pengusaha atau badan hukum maka mereka tidak boleh lagi menangkap ikan di kawasan itu sehingga wilayah tangkap mereka akan menjadi berkurang dan hasil tangkapan semakin sedikit. Akibatnya pendapatan dari hasil laut juga akan menurun. Masyarakat cenderung mengharapkan agar prioritas HP3 itu diberikan kepada masyarakat lokal sehingga tidak ada perubahan dari kondisi saat ini dan masyarakat bisa melaut dengan tenang. Untuk memperkuat peran masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, ketentuan pemberian hak pengelolaan masyarakat adat perlu diperjelas dalam pasal tersendiri, yaitu bahwa pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diberikan kepada masyarakat adat dan masyarakat pesisir yang terbukti sudah mengelola kawasan pesisir dan laut secara baik. Pengelolaan secara baik adalah pengelolaan yang tidak hanya bertumpu pada aspek pemanfaatan, melainkan juga pada aspek kelestariaannya. Diperlukan sinkronisasi perundangan dengan merevisi Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, khususnya Pasal 61 ayat (1), yang menyatakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Revisi ini diperlukan karena tidak sesuai dengan semangat yang terdapat dalam Pasal 61 (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007. (2011)
|