Description
|
Kebijakan dan strategi pembangunan ketahanan wilayah pesisir di Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) menampilkan tiga perbedaan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Kebijakan pembangunan wilayah pesisir berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) di Batam diarahkan pada upaya penguatan wilayah pesisir dan upaya pengembangan kawasan industri yang dikenal dengan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Adapun di Bintan, kebijakan diarahkan pada pengembangan kawasan industri yang diimbangi dengan upaya pembangunan ketahanan masyarakat nelayan, sedangkan di Pulau Karimun kebijakan diarahkan pada pengembangan kawasan industri di Kecamatan Meral. Penelitian mulai dilakukan pada tahun 2009 dengan tujuan mengkaji arah kebijakan dan strategi pembangunan wilayah pesisir yang masih cenderung mengutamakan pembangunan kawasan industri yang kurang diimbangi dengan pembangunan ketahanan masyarakat pesisir Kepulauan Riau. Fokus penelitian pada tahap kedua diarahkan pada kendala yang dialami oleh masing-masing wilayah penelitian. Selanjutnya, juga dianalisis pola pengembangan strategi pembangunan ketahanan wilayah pesisir di BBK tersebut, serta memetakan tipe-tipe kendala dalam upaya peningkatan ketahanan masyarakat pesisir di BBK. Sasaran yang dituju pada penelitian ini adalah analisis Rencana Tata Ruang (RTR) wilayah BBK dengan seberapa jauh master plan free trade zone (FTZ) memberi ruang bagi pengembangan aktivitas pokok masyarakat. Pada tahun kedua (2010) penelitian ditujukan untuk mengetahui penguatan sistem kelembagaan yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan wilayah pesisir di BBK. Sasaran yang dituju adalah bagaimana peran stakeholder dalam penguatan struktur kelembagaan pada level pembuat kebijakan yaitu BPK pemerintah daerah, pelaksana yaitu DKP-UPT, dan level masyarakat yaitu nelayan-koperasi. Hasil penelitian menemukan ada tiga kelompok nelayan di wilayah BBK, yaitu kelompok nelayan pemburu bantuan, kelompok nelayan mandiri, dan kelompok nelayan musiman. Dari ketiga kelompok ini yang terbaik adalah kelompok nelayan mandiri. Penguatan aspek kelembagaan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat belum semuanya sesuai dengan kebutuhan nelayan. Ketepatan sasaran bantuan melalui kelembagaan masih lemah, di antaranya karena mereka tidak didampingi secara berkelanjutan. Masalah kekurangan tenaga pendamping menjadi kunci penguatan ketahanan masyarakat pesisir. Namun, dengan adanya pusat pendidikan yang berorientasi maritim diharapkan dalam 5-10 tahun mendatang dapat menutup kekurangan tenaga pendamping. Selain itu, kesadaran dan kepedulian nelayan akan pentingnya koperasi yang bergerak dalam pemasaran dan pelelangan mulai menguat. Mereka ingin agar koperasi dapat berperan sebagai tempat penjualan hasil tangkapan nelayan agar harga jual ikan dapat lebih tinggi daripada dijual ke tauke. Keberadaan TPI sangat membantu nelayan karena hasil tangkapan dihargai lebih tinggi daripada harga jual dengan cara lain. Sementara itu, desain pembangunan FTZ belum menyentuh kehidupan masyarakat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan. Sebaliknya, ada kecenderungan masyarakat semakin termarginalisasi oleh pesatnya pembangunan di BBK dalam bingkai FTZ. Saat ini hanya kegiatan CSR yang dapat dinikmati sebagai buah manis FTZ. CSR diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mengintegrasikan mereka dalam kegiatan perekonomian FTZ dengan memperbaiki akses terhadap insfrastruktur dasar, sumber pembiayaan, dalam optimalisasi pemanfaat sumber daya pesisir yang dimiliki. Untuk sumber daya alam, belum memberikan nilai tambah secara signifikan masyarakat pesisir BBK. Sumber daya tidak pulih di antaranya pasir laut, tambang timah, batu granit yang dikuasai oleh perusahaan atau orang tertentu dan nelayan tidak dilibatkan dalam kegiatan mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan penguatan sumber daya alam masih jauh untuk dapat memperkuat ketahanan masyarakat pesisir di BBK. Dalam hal penguatan aspek sumber daya alam, pandangan nelayan terhadap laut sebagai sumber mata pencaharian dan tabungan masa depan mulai bergeser. Hal ini disebabkan adanya kemajuan industri dan berkurangnya perubahan kondisi alam/sumber daya hayati. Orientasi nelayan mulai beralih ke daratan karena daerah tangkapan ikan dan hasil tangkapan yang semakin berkurang akibat pencemaran lingkungan. Realisasi kebijakan yang kontradiktif di Batam, antara kebijakan FTZ dan kebijakan peningkatan ketahanan masyarakat nelayan, memperlihatkan bahwa pengembangan kawasan industri semakin membatasi dan menghancurkan wilayah tangkap. Selain itu, kegiatan eksploitasi tambang laut yang terus menerus di sekitar Pulau Karimun hingga Pulau Kundur menjadi masukan yang amat besar bagi Pendapatan Asli Daerah. Penambangan laut dan darat yang ada di Pulau Karimun dan sekitarnya mencerminkan melimpahnya sumber daya alam di pulau tersebut. (MAB) (2010)
|