Description
|
Pada tahun 2000 pemerintah telah menetapkan kebijakan tentang otonomi daerah dan memberi kewenangan bagi pemerintah kabupaten dan kota untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pemerintah memberi perhatian besar kepada daerah, terutama wilayah perbatasan yang strategis, namun masih menghadapi banyak permasalahan. Pulau Sebatik (Kalimantan Timur) secara administratif terdiri atas Kecamatan Sebatik dan Kecamatan Sebatik Barat yang letaknya berhadapan langsung, baik daratan maupun lautan dengan negara bagian Sabah, Malaysia. Pulau ini mempunyai potensi sumber daya alam (SDA) termasuk sumber daya laut yang menjanjikan. Namun, pembangunan di daerah ini masih tertinggal dan kontribusinya terhadap kesejahteraan keluarga nelayan masih terbatas dan cenderung menurun akibat adanya kenaikan bahan bakar minyak. Penanganan kemiskinan, serta pemberdayaan keluarga dan masyarakat dari pemerintah tidak mampu mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Penelitian ini difokuskan di perdesaan yang terletak di perbatasan, yaitu di Desa Nelayan Pulau Sebatik. Tujuan penelitian adalah menyusun konsep atau model pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga di Desa Nelayan Sebatik agar mampu tumbuh secara serasi, memecahkan masalah yang ada, serta melakukan pembangunan berwawasan lingkungan melalui pemberdayaan SDA dan sumber daya manusia (SDM) dengan memperhatikan faktor eksternal. Penelitian dilakukan selama tiga tahun (2008-2010). Pada tahun pertama (2008) penelitian ditujukan untuk mengkaji potensi SDA dan SDM dengan mengumpulkan berbagai data, baik kualitatif, sekunder, maupun umum seperti kondisi geografis. Pada tahun kedua (2009) menganalisis konsep strategi pemberdayaan keluarga dalam memanfatkan potensi sumber daya. Selain itu, dianalisis tingkat kesejahteraan keluarga miskin dilihat dari tingkat pendapatan, pengeluaran, akses terhadap sumber daya, pemilikan aset rumah tangga dan kondisi perumahan serta sanitasi lingkungan. Pada tahun ketiga (2010) menyusun konsep dan alternatif strategi pemberdayaan keluarga berdasarkan analisis dan hasil kajian yang dilakukan sebelumnya serta workshop dengan stakeholder di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Hasil penelitian menunjukkan ada indikasi kuat bahwa kemiskinan selama ini masih dilihat secara parsial, yaitu sebatas kemiskinan materi, padahal kemiskinan itu sendiri sangat bersifat multidimensional dan struktural. Pandangan seperti ini melahirkan kebijakan pengentasan kemiskinan bersifat sektoral dan karitatif dalam pelaksanaannya. Pendekatan yang cenderung bersifat top down telah mempersempit ruang konsultasi publik dan partisipasi masyarakat pada setiap tahapan perumusan dan pelaksanaannya. Lemahnya koordinasi mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kewenangan dan kebijakan, baik antarinstansi pemerintah maupun dalam instansi yang sama. Dalam program pengentasan kemiskinan, terdapat tiga hak dasar masyarakat dalam pembangunan yang kurang diperhatikan, yaitu akses terhadap informasi pembangunan, partisipasi, dan kontrol terhadap jalannya pembangunan. Minimnya sosialisasi program kegiatan, ketatnya persyaratan adminsistrasi untuk terlibat dalam program kegiatan, isolasi fisik tempat tinggal kaum miskin yang sulit dijangkau petugas dan lemahnya pengadministrasian program pengentasan kemiskinan pada aparat yang terlibat, telah membatasi hak akses informasi pada kelompok miskin. Keterbatasan informasi ini mengakibatkan kontrol masyarakat tidak teratur, saling curiga, serta aspirasi dan partisipasi masyarakat dari kelompok termiskin tidak terwakili. Untuk mengatasi permasahan ini, disarankan 1) membentuk wadah/badan koordinasi yang berfungsi mengoordinasikan setiap program kegiatan pembangunan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang dapat membingungkan para petugas pada tingkat pelaksana program; 2) program pengentasan kemiskinan harus menekankan pada muatan pemberdayaan dengan mengedepankan upaya peningkatan kapasitas pada setiap level melalui pendidikan, pelatihan, peningkatan kesehatan, membuka akses informasi, kemampuan berorganisasi, dan permodalan bagi kelompok miskin, disertai dengan model sekolah lapang, serta pendampingan yang berkelanjutan; 3) setiap program pengentasan kemiskinan harus dirumuskan melalui proses dialog; 4) program pengentasan kemiskinan harus memperhatikan hak dasar masyarakat, seperti hak akses informasi, hak kontrol, dan hak untuk didengar aspirasi dan partisipasinya, terutama kelompok masyarakat miskin; 5) program peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat harus memperhatikan potensi lokal SDA dan SDM yang ada; 6) perlu kebijakan pembangunan yang berpihak pada kelompok miskin tanpa harus dibebani persyaratan yang sulit dipenuhi; 7) peningkatan pembangunan berbagai sarana sosial ekonomi yang memungkinkan kelompok miskin mendapatkan akses berbagai bentuk pelayanan publik perlu diteruskan. (MAB) (2010)
|