Description
|
Peristiwa perubahan iklim disinyalir dapat memengaruhi perubahan frekuensi dan magnitudo gerakan tanah di suatu wilayah rawan bencana gerakan tanah di masa mendatang. Untuk menyusun strategi mitigasi bahaya gerakan tanah di masa mendatang, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai dampak perubahan iklim terhadap kerentanan gerakan tanah di wilayah tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan model efek dari kenaikan presipitasi terhadap kerentanan gerakan tanah di wilayah Jawa Barat. Penelitian ini terdiri atas karakterisasi sifat fisik, hidrologis dan keteknikan tanah, pemodelan numerik untuk memperkirakan perubahan presipitasi akibat perubahan iklim global, dan untuk mengevaluasi efek dari perubahan presipitasi terhadap kerentanan gerakan tanah di Kabupaten Bandung dan Cianjur, Jawa Barat. Berdasarkan kajian data sekunder ini, gerakan tanah di daerah penelitian umumnya melibatkan tanah permukaan dengan ketebalan berkisar 5 m, pada lereng dengan kemiringan 30°. Berdasarkan frekuensi kejadiannya, jenis gerakan tanah tipe luncuran sering terjadi di Kecamatan Cibadak, Sagaranten, dan Kalapanunggal (Kabupaten Sukabumi), Kecamatan Cibeber (Kabupaten Cianjur), dan Cipatat (Kabupaten Bandung). Berdasarkan sifat keteknikan tanah, potensi gerakan tanah akan banyak terjadi pada daerah yang disusun oleh lapisan tanah pasir lanauan yang bersifat agak padat sehingga diperlukan curah hujan dengan durasi lama. Kecenderungan peristiwa gerakan tanah di tiga kabupaten ini terjadi di wilayah dengan kondisi curah hujan harian melebihi 70 mm. Hasil pemodelan perubahan iklim dengan menggunakan perangkat lunak MAGICC/SCENGEN berdasarkan skenario GCM (Global Climate Model) CCCMA-31, penurunan presipitasi dapat terjadi sebesar 20% pada bulan Februari dan Maret, sedangkan kenaikan presipitasi maksimum sebesar 80% pada bulan Mei dan Juni tahun 2080 terhadap presipitasi tahun 1990. Sementara itu, berdasarkan model UKHADCM3, penurunan presipitasi dapat terjadi maksimum sebesar 14% pada bulan Januari- Februari dan pada bulan Mei-Juni 2080 sebesar 35% terhadap tahun 1990. Hasil pemodelan kestabilan lereng secara spasial dan temporal untuk lereng mengindikasikan bahwa perubahan distribusi spasial daerah rentan gerakan tanah tinggi sangat dipengaruhi oleh pola perubahan presipitasi di masa mendatang. Perubahan presipitasi akibat model iklim CCCMA-31 dapat menyebabkan peningkatan kerentanan gerakan tanah tinggi sebesar 4%, terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bandung di tahun 2050. Sementara itu, pada tahun 2080, luas daerah rentan gerakan tinggi dapat mengalami penurunan maksimum sebesar 2-3% terhadap tahun 1990. Berdasarkan model iklim UKHADCM3, luas daerah rentan gerakan tanah tinggi di ketiga wilayah ini dapat mengalami penurunan sebesar 1-3%. Terhadap luas daerah rentan tinggi tahun 1990. Dengan demikian, perubahan presipitasi di masa mendatang tidak menyebabkan peningkatan kerentanan gerakan tanah tinggi pada masa mendatang. Akan tetapi, perubahan tataguna lahan dan aktivitas manusia yang dapat memengaruhi kondisi hidrologis dan kekuatan lereng akan menjadi faktor yang menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap gerakan tanah di masa mendatang. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pengurangan risiko gerakan tanah dengan memperkuat implementasi peraturan-peraturan dalam mengontrol perubahan tataguna lahan di masa mendatang. (2011)
|