Description
|
Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) merupakan kelanjutan dari program wajib belajar enam tahun yang secara resmi dicanangkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1990. PP tersebut diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1994 tentang pelaksanaan Wajib Pendidikan Dasar. Dalam implementasinya, kebijakan program Wajar Dikdas 9 Tahun mengalami dinamika pasang surut. Target penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun antara lain tercapainya angka partisipasi kasar (APK) jenjang SMP dan yang sederajat sebesar 95% pada tahun 2008 dan 98% pada tahun 2009. Target tersebut secara kuantitatif pada tingkat nasional dapat dicapai, namun masih ada kesenjangan pencapaian di tingkat provinsi dan kabupaten, kesenjangan antarkelompok pendapatan serta persoalan dalam pencapaian target kualitatif pendidikan dasar. Model kebijakan pendidikan yang dilaksanakan selama ini adalah melalui penguatan lembaga pendidikan sehingga hanya mereka yang mampu merebut bangku pendidikan, yang dapat dilayani dan dibantu. Pendekatan model ini kurang adil dan menghambat penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun. Hal ini terbukti dengan rendahnya angka melanjutkan sekolah pada tahun ketujuh, terutama di daerah perdesaan dan kabupaten miskin. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model kebijakan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun yang dapat memperkuat (calon) siswa dan dapat mendorong lembaga pendidikan agar mampu berkompetisi melayani/mendekati (calon) siswa, terutama di daerah miskin dengan metode kualitatif. Penelitian dilakukan selama tiga tahun (2009-2011) di Kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah), Ciamis (Jawa Barat), dan Minahasa 12 Selatan (Sulawesi Utara).Tahapan penelitian mengikuti tahapan/ prosedur penelitian pengembangan model,yaitu 1) eksplorasi model yang sedang diterapkan; 2) identifikasi, perumusan masalah, dan analisis atas model yang sedang diterapkan dan alternatif-alternatif model; 3) penyusunan konsep/model baru; 4) verifikasi dan validasi konsep model; 5) perbaikan model. Tahap validasi/uji coba tidak dilaksanakan dalam penelitian ini karena bukan ranah kewenangan tim peneliti LIPI. Tahun pertama dan kedua (2009-2010), dilakukan identifikasi dan perumusan masalah pokok yang bersifat konseptual/ teoritis, implementasi (proses penyelenggaraan) dan dampak dari pelaksanaan program penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun yang telah dilaksanakan.Identifikasi masalah dilakukan dengan metode dialektika melalui tiga tahapan, yaitu kategorisasi masalah, tataran masalah, dan menemukan lokus masalah. Data sekunder diperoleh dari literatur, sedangkan data primer dari lapangan dikumpulkan dengan metode wawancara mendalam dan diskusi terfokus dengan para narasumber dan pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan dasar, yaitu orangtua/wali anak yang tidak bersekolah, pengelola dan peserta paket B/SMP Terbuka/STPD, kepala dinas pendidikan/UPTD kecamatan, kepala MTs, kepala dinas pendidikan kabupaten, kepala Mappenda/PKPontern, kepala kantor Depag, komisi C DPRD, kabid sosial/pendidikan Bappeda, kabid kesra, komite sekolah, dewan pendidikan, kadinda, dan bupati. Adapun variabel yang digunakan adalah 1) aspirasi budaya, meliputi substansi dan penyelenggaraan pendidikan: kurikulum dan jenis sekolah, serta lingkungan budaya/nilai tentang pendidikan, nilai anak sebagai tenaga kerja;2) biaya pendidikan ditinjau dari kemampuan ekonomi masyarakat setempat; 3) aksesibilitas (lokasi, sarana, dan keterjangkauan ditinjau dari ekonomi dan waktu); 4) bentuk layanan pendidikan (formal/nonformal); 5) mutu layanan pendidikan, meliputi kualitas pendidikan mulai dari proses penerimaan, pelaksanaan pembelajaran, kuantitas dan kualitas guru hingga sarana dan prasarana; 6) sistem penyelenggaraan diarahkan pada partisipasi dunia usaha, masyarakat, dan negara; 7) luaran pendidikan ditinjau 13 dari relevansinya dengan kebutuhan pengguna (masyarakat, pasar, dan negara). Masalah yang teridentifikasi dan terumuskan beserta elemen-elemen penting untuk membangun model, digunakan untuk mengeksplorasi mendalami dan lebih lanjut pada tahun kedua. Untuk menemukan jawaban atas masalah penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun ini dilakukan kajian bersama. Data empiris yang diperoleh digunakan sebagai dasar dalam memformulasikan draf model kebijakan yang berisi: 1) komposisi isi/kurikulum dan komposisi stakeholder pendidikan yang merupakan titik temu antara kebutuhan dan kemampuan stakeholders, dan 2) konfigurasi stakeholders pendidikan untuk menjamin penyelenggaraan dan pelaksanaan pembelajaran yang optimal secara kuantitatif dan kualitatif menurut stakeholders. Hasil analisis data empirik di ketiga kabupaten menunjukkan: 1) adanya ketidakcocokan menyangkut konsep, kebijakan, dan program pemerintah dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dan dunia usaha, terutama dalam hal kurikulum, pembiayaan, dan sistem penyelenggaraan; 2) terdapat kesenjangan komposisi-konfigurasi dan partisipasi stakeholders dalam sistem penyelenggaraan; 3) terdapat kasus best practice pelaksanaan pendidikan dasar yang mampu menjembatani kesenjangan pada butir 1 dan 2, yaitu jalur pendidikan nonformal Paket B, khususnya Paket B-KBU (kelompok belajar usaha). Berdasarkan hasil analisis tersebut maka pada model alternatif penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun, yaitu 1) memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada masyarakat dan dunia usaha dalam hal peningkatan kurikulum terutama nilai agama/budaya, keterampilan, pembiayaan, kualitas dan relevansi luaran, serta sistem penyelenggaraan pendidikan dasar; 2)memberikan ruang pertisipasi lebih luas kepada pemerintah desa dan dunia usaha pada sistem penyelenggaraan pendidikan dasar; 3) diperlukan komposisi kurikulum dan konfigurasi stakeholders yang lebih seimbang dengan memperkuat peran masyarakat dan dunia usaha. Perubahan komposisi dan konfigurasi stakeholders yang diajukan model alternatif ini menekankan pada 1) penguatan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dan partisipasi publik dalam memecahkan 14 masalah yang menghambat penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun; dan 2) sinergitas di antara stakeholders negara, masyarakat, dan dunia usaha dalam mengarahkan pengadaan dan pelaksanaan pendidikan menjadi instrumen transfer budaya, uang, barang, dan jasa yang memberdayakan individu, rumah tangga, dan komunitas/lingkungan marginal. Disimpulkan bahwa model alternatif ini mengedepankan sistem kerja sama melalui berbagai masalah, kuasa, dan sumber daya dan mengutamakan kebijakan sinergitas antara negara, masyarakat, dan dunia usaha. (2011)
|