Description
|
Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan. Penerapan pertanian terpadu dapat sebagai salah satu solusi alternatif bagi peningkatan produktivitas lahan, program pembangunan dan konservasi lingkungan, energi, serta pengembangan desa secara terpadu. Pengembangan sistem pertanian terpadu dapat diterapkan pada lokasi dengan permasalahan dan kondisi lahan yang berbeda seperti di daerah Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur yang sebagian penduduknya adalah masyarakat miskin dan masih tejadi disparitas pembangunan di semua sektor. Kondisi ini menjadikan daerah Kabupaten Belu sebagai wilayah terbelakang dan belum menempatkan protein hewani sebagai komoditas strategis, padahal lahan pengembalaan di wilayah ini sangat luas. Iklim di wilayah Kabupaten Belu dipengaruhi angin muson kering dari Australia yang berakibat daerah tersebut hanya mengalami musim hujan 3-4 bulan sehingga hampir 47 persen dari luas lahan di NTT adalah padang pengembalaan dan 34,8 persen adalah lahan pertanian kering. Curah hujan yang rendah dan pengelolaan lahan pertanian yang belum maksimal menyebabkan produktivitas hasil pertanian yang rendah. Di sisi lain, wilayah ini mempunyai potensi sapi bali yang besar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik dan sumber energi yang berkelanjutan untuk menekan tingkat pengurusan hutan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengembangkan sistem pertanian terpadu pada lahan marjinal di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan kepadatan penduduk dan luas wilayah NTT, pengembangan agribisnis sebaiknya berorientasi pada kewilayahan (green estate). Kewilayahan tersebut meliputi manajemen air, pemilihan komoditi sesuai dengan jenis dan kesuburan tanah, sebaran ternak, ketersedian pupuk organik, dan lain-lain. Penerapan model pertanian terpadu yang diterapkan pada daerah Kabupaten Belu, NTT memperlihatkan keterkaitan antara biogas dan kotoran sapi sebagai sumber energi dan pupuk organik untuk mengembalikan kesuburan lahan kritis, dapat menurunkan biaya produksi (15 persen). Penurunan tersebut diperlihatkan oleh kegiatan-kegiatan penanganan peternakan sapi, pengolahan lahan untuk hijauan sebagai pakan ternak, pengurangan pupuk kimia, dan tersedianya energi murah untuk mendukung kegiatan peternakan tersebut. Melalui kerja sama dengan Dinas Peternakan Kabupaten Belu, NTT kegiatan ini telah dilengkapi dengan pembangunan fasilitas, seperti bunker silase, pabrik pengolahan pakan ternak sapi, dan penyediaan lahan percontohan. (CA) (2009)
|