Description
|
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah salah satu tumbuhan obat yang telah banyak dikenal. Komponen minyak atsiri pada temulawak saat ini baru teridentifikasi terdiri atas 32 jenis. Di Indonesia, temulawak termasuk tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat tradisional. Dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa temulawak mempunyai berbagai macam khasiat, di antaranya sebagai analgesik, anthelmintik, antibakteri, antijamur, antidiabetik, antidiare, dan antiinflamasi. Temulawak juga menggantikan bahan baku obat produk impor, seperti obat untuk asam urat, diabetes atau antimestatic atau antikanker. Perolehan oleoresin, minyak atsiri, dan komponen lainnya selama ini masih menggunakan metode konvensional, di antaranya destilasi, sokletasi atau solvent extraction. Adapun pelarut yang biasa digunakan adalah benzene, n-heksana, aseton, alkohol, dan berbagai pelarut organik lainnya. Guna mendapatkan komponen aktif baru dari temulawak, perlu dilakukan kajian metode lain, yaitu mengisolasi atau mengekstrasi secara CO2-Supercritical Fluid Extraction (SCFE). Ekstraksi dengan pelarut CO2-SCFE merupakan metode pemisah yang memanfaatkan daya melarutkan dan sifat difusional fluida superkritik. Pelarut ini memiliki difusivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pelarut cair. Selain itu, komponen-komponen atsiri yang diperoleh pun lebih banyak bila dibandingkan dengan cara ekstraksi biasa. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendapatkan komponen-komponen aktif baru dari temulawak; 2) mengetahui manfaat dari bahan aktif baru tersebut; 3) dapat dipakai sebagai pengganti bahan yang selama ini disintesa secara kimiawi yang cukup berbahaya untuk kesehatan. Penelitian dilakukan selama dua tahun (2009-2010) di laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong, Jurusan Kimia ITS Surabaya, dan pabrik minyak atsiri di Padang. Sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah temulawak hasil panen petani. Temulawak ini dibersihkan dari kotoran, diiris, dikeringkan dalam ruangan dan tidak kena cahaya matahari. Selanjutnya, temulawak ditimbang dan diekstraksi secara pelarut CO2-superkritik dengan variasi waktu. Kegiatan penelitian ini dilakukan berdasarkan teknologi ekstraksi CO2-superkritik. Dalam hal ini, gas dipanaskan pada suhu di atas kritis atau menekan cairan pada tekanan di atas tekanan kritisnya. Proses ekstraksi temulawak dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu penyortiran basah dan pencucian, perajangan, pengeringan, serta penyortiran kering dan penghalusan. Selanjutnya, dilakukan ekstraksi secara Supercritical Fluid Extraction. Dari hasil analisis temulawak ditemukan kadar air hasil pengeringan sebesar 10,72 persen. Kadar lain yang juga diperoleh adalah abu 4,05 persen, karbohidrat 49,60 persen, protein 6,80 persen, dan lemak 2,61 persen. Adapun hasil ekstraksi 50 g temulawak secara sokletasi dengan berbagai pelarut tunggal terhadap oleoresin adalah n-heksan 5,5994 persen, etil asetat 5,7349 persen, aseton 5,7064 persen, dan ethanol 6,5901 persen. Oleoresin yang terekstraksi menggunakan cara CO2-SCFE lebih banyak bila dibandingkan dengan cara sokletasi. Hasil ekstraksi oleoresin secara CO2-SCFE dari ampas temulawak yang telah diekstraksi oleoresinnya secara sokletasi masih banyak menyisakan oleoresin. Sisa oleoresin berkisar antara 3,7-8,22 persen berat. Penerapan proses skala laboratorium pada skala industri untuk ekstraksi secara CO2-SCFE hasilnya lebih banyak, yaitu antara 10,4-13,3 persen berat. Di samping itu, dilakukan fraksinasi secara CO2-SCFE setiap 30 menit dengan hasil ekstrak tanpa solvent sebagai berikut. Hasil yang didapat dalam waktu 30 menit adalah 8,2 persen, 60 menit (2,6 persen), 90 menit (1 persen), dan 120 menit (1 persen). Sementara itu, hasil ekstrak dengan solvent etanol adalah 30 menit menghasilkan 9,1 persen, 60 menit (4,7 persen), 90 menit (1,5 persen), dan 120 menit (1,2 persen). Beberapa keunggulan menggunakan ekstraksi CO2-SCFE bila dibandingkan dengan ekstraksi biasa, yaitu 1) oleoresin yang diperoleh lebih banyak dan efisiensi waktu lebih baik; 2) tidak mendegradasi senyawa yang diharapkan; 3) terhindar dari penggunaan pelarut berbahaya yang dapat memengaruhi produk. Uji bioaktivitas antioksidan menggunakan xanthine, xanthine oxidase, dan NBT menunjukkan hasil yang cukup baik. Disarankan agar proses pemisahan terhadap senyawa aktif murni secara kromatografi preparatif dan kromatotron dilanjutkan pada tahun berikutnya oleh peneliti kimia organik. (MAB) (2010)
|