Description
|
Landak merupakan salah satu binatang yang aktif pada malam hari (nocturnal) yang tergolong ke dalam ordo Rodentia, sub ordo Hystricomorpha, dan famili Hystricidae. Binatang ini tergolong mamalia yang unik dan dikenal sebagai porcupine atau babi berduri. Bagian atas tubuhnya ditutupi oleh duri-duri kaku berbentuk silinder, bercincin kehitaman atau coklat tua dan putih, sedangkan bagian bawah tubuh ditumbuhi rambut-rambut pendek agak kasar berwarna hitam. Masyarakat di beberapa daerah telah memanfaatkan landak, baik sebagai salah satu sumber protein hewani maupun tujuan komersial. Landak berpotensi untuk dibudidayakan/ dikembangkan sebagai sumber protein hewani karena dagingnya mengandung protein cukup tinggi dan kadar lemaknya rendah. Selain itu, kandungan bioaktif dari bagian-bagian tubuh landak seperti daging, hati, otak, ekor, dan durinya di beberapa daerah digunakan sebagai obat. Untuk itu, perlu dilakukan kajian domestikasi, sehingga profilnya dapat dijadikan standar awal dalam pengembangan landak serta berguna dalam penentuan status landak sebagai satwa liar yang dilindungi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang potensi landak sebagai dasar pengelolaan dalam usaha domestikasi/budidaya landak sebagai hewan ternak sebagai sumber protein hewani. Pengembangan domestikasi landak (Hystrix sp) menuju budidaya diawali dengan penelitian tentang habitat, pakan alami, perilaku, pakan, kebutuhan nutrisi, reproduksi dan pengasuhan anak, kandang dan sarana pendukung, penyakit dan pencegahannya serta pemanfaatan landak di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa habitat landak jawa (Hystrix javanica) dan landak raya (Hystrix branchyura) berada di pinggiran hutan dekat kebun penduduk dan membuat sarang lereng perbukitan yang berupa lubang-lubang tanah, lubang batu/karang, atau lubang di perakaran pohon besar. Tumbuhan hutan sebagai pakan alami landak yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur yang berjumlah 182 jenis dari 51 famili, 14 jenis tidak teridentifikasi, dan satu jenis pakan asal hewan yaitu rayap. Aktivitas menyusui merupakan aktivitas induk landak tertinggi dibandingkan aktivitas harian lainnya, yaitu pada pagi, siang, dan sore hari. Landak bersifat monogami dan hanya berpasangan dengan pasangan yang tetap. Dalam masa perkawinan, landak jantan menunjukkan sifat agresifnya dan diikuti dengan beberapa ritual landak jantan mendekati landak betina kemudian mundur sambil bersuara, untuk beberapa saat kemudian terjadi kopulasi. Untuk memenuhi kegiatan ritual landak jantan pada masa kawin, sebaiknya sepasang landak diberi luasan kandang yang cukup. Penambahan konsentrat berupa pelet formulasi dalam ransum landak hingga 50 g/ ekor/hari, pelet ikan koi hingga 70 g/ekor/hari, dan limbah kurma 50 g/ekor/hari menunjukkan adanya peningkatan efisiensi penggunaan pakan dibandingkan ransum tanpa penambahan konsentrat. Dilihat dari tipe kandang, landak yang dipelihara di kandang baterai lebih tinggi pertambahan bobot badannya dibandingkan landak di kandang lantai beton/semen. Kadang baterai lebih sesuai untuk pemeliharaan landak program penggemukan/pembesaran, sedangkan kandang berlantai beton lebih cocok sebagai kandang untuk program reproduksi dan pengasuhan anak. Sifat fisik daging landak berupa warna daging, warna lemak, nilai ph, susut masak, keempukan, dan daya mengikat air (DMA) tidak dipengaruhi oleh perbedaan ransum yang diberikan. Daya mengikat air yang cukup tinggi yaitu 36,51% MgH2O menunjukkan bahwa landak jawa memiliki kualitas daging yang baik di antara hewan lainnya. Pemeliharaan anak landak yang lahir kembar tiga, harus dilakukan pemisahan sementara dari induknya secara bergiliran di antara ketiga anak landak guna menyelamatkan salah satu anak landak dari kematian. Landak merupakan satwa liar yang mudah dijinakkan melalui kontak, sentuhan, dan usapan yang dilakukan setiap hari oleh animal keeper. Perlu dilakukan sosialisasi domestikasi landak menuju budidaya ke daerah-daerah yang tinggi pemanfaatan landaknya. Hal ini selain sebagai usaha konservasi satwa liar, juga menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa dalam usaha memanfaatkan satwa liar sebagai komoditas komersial, hendaknya tidak mengambil langsung dari alam, tetapi melalukan budi daya satwa liar melalui penangkaran hingga menghasilkan keturunan generasi kedua (F2) karena mulai F2 satwa hasil tangkaran bisa dikomersialkan sekalipun satwa tersebut dilindungi. (2012)
|