Description
|
Kemiskinan merupakan persoalan setiap negara dan semuanya mencari solusi melalui berbagai kebijakan. Penelitian ini dilakukan selama tiga tahun (2009-2011) untuk menyusun model kebijakan yang memihak kelompok/orang miskin berbasis good governance. Tahun pertama dan kedua mengkaji upaya penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan, infrastruktur, dan kapasitas di perdesaan melalui berbagai program. Program tersebut mencakup Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Pengembangan Agribisnis Perdesaan (PUAP), Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), dan program lain dari pemerintah daerah. Hasil kajian yang disarikan dari pandangan sejumlah kelompok/orang miskin di Kabupaten Indramayu, Tuban, Gunung Kidul, Kutai Kertanegara, dan Indragiri Hilir menunjukkan bahwa program yang sudah ada belum sepenuhnya dapat mengurai, mengatasi, dan menyelesaikan sumber kemiskinan. Kelemahan utama program-program tersebut adalah 1) program kurang dapat menjadi solusi utama untuk mengurai penyebab kemiskinan, 2) sasaran utama kebijakan/program adalah wilayah dan masyarakat desa secara luas, 3) titik berat program diarahkan pada penyebaran dan pembelajaran hak-hak politik kelompok miskin, 4) program kurang dapat menjangkau pemberdayaan bagi kelompok sasaran (orang miskin), 5) terjadi proses distorsi pemberdayaan, dan 6) karakter kemiskinan dan kelompok/orang miskin belum menjadi indikator dalam penentuan program. Berdasarkan kelemahan tersebut kemudian disusun exit condition berupa model kebijakan terbatas (affirmative policy) dan memihak kelompok/orang miskin melalui revitalisasi paradigma penanggulangan kemiskinan dan memahami dimensi kemiskinan yang unik dan beragam serta multidimensional. Kedua hal tersebut berpengaruh pada tiga pilar utama kebijakan penanggulangan kemiskinan, yaitu arah kebijakan, sasaran kebijakan dan jenis program, serta good governance program yang akan dilaksanakan. Tiga pilar ini menjadi landasan bagi strategi penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan dan peningkatan kapabilitas (kemampuan) kelompok/orang miskin dengan tiga target utama, yaitu memiliki kemampuan membangun lembaga ekonomi kelompok/orang miskin, memiliki kemampuan sosiologis dalam mengatasi kemiskinan, dan memiliki kemampuan mengembangkan keahlian (skill) produksi SDM kelompok/orang miskin. Langkah-langkah dalam mencapai target tersebut adalah 1) perubahan paradigma, yaitu revitalisasi paradigma kebijakan penanggulangan kemiskinan secara spesifik, program terbatas hanya untuk menanggulangi kemiskinan bukan untuk pembangunan wilayah atau pemberdayaan masyarakat perdesaan secara luas; 2) bentuk kebijakan terbatas dengan pendekatan kantong-kantong kemiskinan (clustering) dan berpihak hanya kepada kelompok/ orang miskin dalam rangka mengurai sebab-sebab kemiskinan yang multidimensional; 3) fokus sasaran kebijakan pada kelompok/orang miskin yang dicirikan oleh kombinasi dari minimal dua dimensi kemiskinan, yaitu struktural dan alamiah; 4) strategi pemberdayaan dan kapabilitas, serta berjalannya prinsip-prinsip good governance dalam proses hingga implementasi program. Untuk mencapai target keberhasilan, program tidak dirancang open menu, tetapi dibatasi pada setiap usaha untuk menyelesaikan dimensi utama kemiskinan melalui kombinasi tiga jenis program yang saling melengkapi. Pertama, usaha-usaha ekonomi produktif yang menggerakkan penghasilan stabil, meningkatkan akumulasi modal, dan usahausaha yang bukan konsumtif. Kedua, penggunaan teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan intensifikasi dan difersifikasi penghasilan sesuai kondisi geografis dan potensi sumber daya alam, serta sosial budaya masyarakat. Ketiga, pembangunan infrastruktur dimungkinkan apabila hal itu memang merupakan sumber utama kemiskinan. Strategi pemberdayaannya dilakukan melalui 1) peningkatan kapasitas kelompok/orang miskin, 2) peningkatan kualitas pendampingan, dan 3) kejelasan konsep transfer aset dan perlindungan hukum. Selain itu, efektivitas program dengan model kebijakan ini juga ditentukan oleh konsistensi penerapan prinsipprinsip good governance dalam seluruh proses dan tahapan kebijakan, antara lain 1) arah kebijakan memastikan bahwa kebutuhan orang miskin secara berkelompok menjadi prioritas utama; 2) memastikan adanya distribusi dan alokasi anggaran yang transparan, adil, dan partisipatif; 3) menghindarkan proses partisipasi yang terlalu luas karena dapat menimbulkan infiltrasi atau intervensi kepada kelompok miskin; 4) menghindari empat kelemahan mendasar proses partisipatif kebijakan sebelumnya. Keempat kelemahan tersebut perlu dibenahi melalui 1) proses partisipasi yang tidak kompetitif dan liberal, 2) prosedur partisipasi didorong ke arah kualitas partisipasi, 3) memberikan kelonggaran kepada kelompok/ orang miskin dan penyelenggara untuk menentukan pilihan, dan 4) memperkuat fasilitator dan pendampingan. Keberhasilan program ini dapat dilihat dari tercapainya indikator keberhasilan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Indikator keberhasilan yang bersifat langsung, antara lain 1) mudahnya akses modal bagi kelompok miskin, 2) mampu menyusun program usaha pemberdayaan bagi dirinya, 3) terbangunnya keterampilan produksi kelompok/orang miskin, 4) tumbuhnya jenis usaha ekonomi yang dijalankan oleh kelompok/orang miskin, dan 5) adanya produksi dan peningkatan pendapatan. Adapun indikator keberhasilan yang tidak langsung, antara lain 1) meningkatnya sumberdaya kelompok miskin, 2) terserapnya teknologi tepat guna untuk meningkatkan produksi, 3) terbukanya akses pasar, 4) terpeliharanya lingkungan, 5) teratasinya sumber-sumber kemiskinan, 6) adanya akumulasi kapital, dan 7) kemampuan pengelolaan dan manajemen usaha. Institusi pelaksana program dalam model kebijakan ini implementasinya dikelola secara sinergis antara pemerintah pusat dan daerah sebagai administrator dengan mempertimbangkan bentuk atau tipe wilayah kemiskinan (kantong kemiskinan). Dalam satu provinsi tidak perlu dibentuk satu lembaga di setiap kabupaten atau kecamatan karena satu lembaga pelaksana dapat meliputi beberapa kecamatan. Lembaga pelaksana di tingkat kecamatan dapat meliputi beberapa desa sesuai dengan kantong dan karakter kemiskinannya dalam satu wilayah kabupaten. Keberadaannya bukan semata-mata sebagai administrator melainkan sebagai pihak yang memiliki peran fasilitasi, pendampingan secara berkelanjutan, dan pendorong inisiator perubahan bagi kelompok/ orang miskin. (2011)
|